Sektor industri masih menjadi penyumbang terbesar konsumsi energi nasional. Data ESDM menunjukkan sektor ini menyerap 45,94% dari total kebutuhan energi Indonesia. Dengan ketergantungan tinggi pada energi fosil, efisiensi energi menjadi kebutuhan strategis agar kawasan industri tetap kompetitif, dan SUN Energy hadir sebagai penyedia solusi keberlanjutan yang aktif mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mengurangi emisi sekaligus menekan biaya operasional.
Hingga November 2025, SUN Energy telah memasang lebih dari 220 megawatt-peak (MWp) PLTS di berbagai lokasi di Indonesia, termasuk proyek kawasan industri di Karawang International Industrial City (KIIC) dan Kawasan Industri Jababeka. Rekam jejak ini memperkuat peran SUN Energy sebagai mitra strategis dalam mendorong kawasan industri bertransisi menuju operasi yang lebih efisien dan rendah karbon.
Dengan meningkatnya kebutuhan energi bersih di sektor industri, transformasi kawasan industri menuju model yang lebih berkelanjutan menjadi tren yang terlihat bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand, program Eco-Industrial Town (EIT) mendorong pengelolaan air, energi, dan limbah secara terpadu dalam kerangka Smart Eco, sedangkan di Vietnam, pemerintah menargetkan 50% kawasan industri menjadi kawasan hijau pada 2030.
Pemanfaatan energi surya kini menjadi salah satu fondasi utama dalam transformasi kawasan industri menuju dekarbonisasi. Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat biaya pembangkitan listrik tenaga surya global mencapai US$ 0,043/kWh, sekitar 41% lebih murah dibandingkan pembangkit fosil paling efisien. Tren penurunan biaya ini menjadikan PLTS tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga rasional secara ekonomi bagi kawasan industri.
Di Indonesia, kebutuhan listrik kawasan industri meningkat seiring pertumbuhan sektor manufaktur dan logistik. Dengan rata-rata radiasi matahari mencapai 4,8 kWh/m² per hari di sebagian besar wilayah, PLTS menjadi pilihan logis untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Penerapannya pun fleksibel, bisa di atap pabrik, gudang, atau di lahan terbuka sesuai kebutuhan dan kapasitas listrik tenant.
Selain efisiensi biaya, penerapan PLTS juga membantu kawasan industri memperkuat reputasi keberlanjutan dan memenuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang kini menjadi perhatian investor global. Seiring meningkatnya tuntutan transparansi lingkungan, penggunaan energi terbarukan menjadi indikator penting dalam penilaian kinerja ESG perusahaan.
Transformasi energi di kawasan industri tidak bisa dilakukan sendiri. Diperlukan kolaborasi antara pengelola kawasan, tenant, dan mitra energi agar transisi menuju sistem yang berkelanjutan benar-benar berjalan. Kolaborasi ini bukan hanya soal investasi, tapi juga soal berbagi infrastruktur dan pengetahuan untuk mengoptimalkan penggunaan energi bersih di tingkat kawasan.
Menurut laporan dari Center for Global Sustainability mencatat bahwa 21 kawasan industri di Indonesia telah menggunakan atau merencanakan penggunaan PLTS sebagai bagian dari strategi energi bersih. Salah satu contohnya adalah Kawasan Industri Jababeka, di mana SUN Energy mengembangkan proyek PLTS berkapasitas 1,8 MWp bagi berbagai tenant, mulai dari manufaktur material bangunan, komponen otomotif, farmasi, laboratorium inspeksi hingga packaging. Proyek ini berpotensi menjadi pilot area untuk pengembangan kawasan rendah karbon, sekaligus contoh bagaimana integrasi energi surya dapat diterapkan secara kolektif di lingkungan industri.
Kolaborasi semacam ini membawa dampak lebih luas dari sekadar efisiensi biaya. Kawasan industri yang beralih ke energi bersih menjadi lebih menarik bagi tenant baru maupun investor yang berorientasi pada Environmental, Social, and Governance (ESG). Di sisi lain, integrasi solusi keberlanjutan lain seperti SUN Mobility untuk elektrifikasi armada operasional dan NIRA untuk pengelolaan air berkelanjutan dapat membantu kawasan industri menekan jejak karbon sekaligus meningkatkan efisiensi operasional.
Meski masih ada tantangan, seperti investasi awal dan pembatasan kuota kapasitas PLTS, tren kerja sama lintas sektor ini menunjukkan arah positif. Dengan dukungan regulasi dan penurunan biaya teknologi surya, kolaborasi di kawasan industri dapat menjadi pendorong penting menuju kemandirian energi nasional dan mempercepat langkah Indonesia mencapai Net Zero Emission 2060.
***
Sumber: