Ekonomi hijau kini menjadi strategi utama pembangunan di Indonesia. Konsep ini menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan lingkungan, melainkan harus berjalan seiring dengan keberlanjutan dan kesejahteraan sosial. SUN Energy, sebagai solar developer terkemuka di Indonesia dengan lebih dari 300 proyek PLTS berkapasitas total 200 MWp, berperan aktif dalam mendorong transisi energi bersih yang sejalan dengan agenda ekonomi hijau nasional.
Kajian Bappenas memperkirakan bahwa penerapan ekonomi hijau dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6,3% per tahun hingga 2050. Bahkan, dalam skenario nol emisi, pertumbuhan bisa lebih tinggi: 6,5% jika target tercapai pada 2045, 6,4% pada 2050, dan 6,1% pada 2060.
Selain mendorong pertumbuhan, ekonomi hijau juga diyakini mampu membuka lebih dari 15 juta lapangan kerja baru di sektor ramah lingkungan seperti energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan pertanian hijau. Angka-angka ini menegaskan bahwa ekonomi hijau bukan sekadar kewajiban moral menghadapi krisis iklim, melainkan peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat daya saing global. Di tengah meningkatnya tekanan regulasi karbon internasional, ekonomi hijau menjadi jalan penting agar Indonesia tidak hanya menjaga keberlanjutan dalam negeri, tetapi juga tetap relevan di pasar dunia.
Energi terbarukan adalah tulang punggung transisi menuju ekonomi hijau, dan di antara semua sumber, energi surya merupakan yang paling potensial di Indonesia. Berdasarkan laporan IESR, kapasitas PLTS terpasang baru mencapai sekitar 718 MWp per Maret 2024, jauh tertinggal dibandingkan potensi teknis energi surya nasional yang mencapai 3.295 GWp. Celah besar ini adalah peluang emas untuk memperluas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Pemerintah juga menempatkan PLTS sebagai prioritas utama dalam RUPTL 2025–2034. Dalam rencana tersebut, ditargetkan pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 69,5 GW, dengan sekitar 76% di antaranya berasal dari energi terbarukan. Dari jumlah itu, tenaga surya menyumbang kapasitas terbesar, yakni 17,1 GW. Penekanan ini menunjukkan bahwa PLTS bukan lagi dipandang sebagai opsi tambahan, melainkan komponen utama dalam transisi energi nasional.
Penurunan biaya instalasi juga memperkuat posisi PLTS. Laporan IRENA menyebut biaya pembangkitan listrik dari PLTS skala besar turun sekitar 85% antara 2010–2020, menjadikannya salah satu sumber energi termurah di dunia. Penurunan ini membuat PLTS semakin terjangkau bagi industri maupun sektor komersial, sekaligus mempercepat adopsi di Indonesia.
PLTS memiliki beberapa keunggulan, yaitu sumber energi yang melimpah, biaya instalasi yang terus menurun, fleksibilitas pemasangan di atap gedung, pabrik, hingga lahan terbuka, serta efisiensi biaya bagi penggunanya. Studi RELE (2024) menunjukkan bahwa sistem PLTS 1,1 MWp di sebuah pabrik Indonesia mampu menghemat biaya listrik hampir Rp1,7 miliar per tahun, dengan periode balik modal sekitar 7,1 tahun. Setelah periode itu, energi yang dihasilkan akan gratis hingga panel mencapai usia pakai 25–30 tahun.
Bagi dunia usaha, penghematan ini sangat signifikan. Sektor industri adalah konsumen listrik terbesar di Indonesia dengan konsumsi sekitar 184 TWh pada 2023, atau lebih dari 40% dari total konsumsi nasional. Karena itu, setiap efisiensi energi akan langsung berdampak pada biaya produksi dan daya saing. Tidak mengherankan jika PLTS kini mulai banyak diadopsi di sektor manufaktur, ritel, otomotif, FMCG, hingga pertambangan.
Kondisi ini juga tercermin dari kiprah solar developer di dalam negeri. Hingga 2025, SUN Energy telah membangun lebih dari 300 proyek PLTS dengan kapasitas terpasang 200 MWp. Portofolio ini mencakup berbagai sektor industri, membuktikan bahwa PLTS benar-benar mampu memberikan efisiensi biaya sekaligus membantu perusahaan mencapai target Environmental, Social, and Governance (ESG). Fakta ini menegaskan bahwa transformasi energi bersih bukan lagi sekadar wacana, melainkan sudah berjalan nyata di dunia usaha Indonesia.
Selain menekan biaya energi, PLTS juga memberi nilai tambah strategis bagi perusahaan. Penggunaan energi bersih mempermudah pencapaian sertifikasi lingkungan seperti ISO 14001, penghargaan PROPER, maupun predikat green building. Sertifikasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan faktor penting dalam meningkatkan reputasi merek dan memenuhi tuntutan konsumen yang semakin sadar lingkungan.
Lebih jauh, penggunaan PLTS juga berkaitan dengan akses pasar ekspor. Mulai 2026, Uni Eropa akan menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Kebijakan ini mewajibkan produk impor dengan jejak karbon tinggi, seperti baja, semen, pupuk, dan listrik, untuk membayar biaya tambahan. Produk yang diproduksi dengan energi fosil berisiko terkena beban karbon ini, sementara perusahaan yang sudah menggunakan energi terbarukan seperti PLTS dapat mengurangi atau bahkan menghindarinya.
Dengan demikian, pemanfaatan PLTS tidak hanya relevan untuk efisiensi biaya dalam negeri, tetapi juga menjadi kunci agar produk Indonesia tetap bersaing di pasar global. Di tengah persaingan ekspor yang semakin ketat dengan aturan lingkungan, energi surya menawarkan solusi dalam mengurangi emisi, menekan biaya, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok internasional.
***
Sumber: